Tuesday, April 17, 2007
RESENSI
Judul : Manusia Bugis
Penulis : Christian Pelras
Penerbit : Nalar, Jakarta
Tahun : Februari 2006
Hal. : xxxxiv + 450 hlm.


Oleh : Muhammad Ridwan Alimuddin

“Dari mana nenek-moyang orang Sulawesi Selatan berasal? … jika anggapan Mills benar bahwa lokasi pertama yang ditempati para pendatang adalah sekitar muara Sungai Saddang, maka kemungkinan besar asalnya dari Kalimantan Timur, yakni sekitar Kutei-Samarinda, atau dari bagian tenggara Kalimantan, yakni sekitar Pegatan-Pulau Laut (belakangan, pada kedua wilayah itu terdapat perkampungan bugis. Mungkin tanpa disadari, mereka sebenarnya telah kembali ke tempat asal nenek-moyang mereka) …”


Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Tesis ini sudah lama dikemukakan oleh seorang ahli bahasa, Roger F. Mills, yaitu pada tahun 1975, namun bagi masyarakat umum di Indonesia pendapat ini mungkin masih baru.

Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Dengan kata lain, “Mereka kembali ke asal”. Betulkah demikian? Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Namun dari penelitian kesamaan bahasa dan kedekatan geografis, itu sangat dimungkinkan untuk terjadi.

Terlepas orang Bugis “kembali” atau tidak, Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan penting di dalam sejarah migrasi orang Bugis, sejak ratusan tahun lampau sampai detik tulisan ini dibuat. Untuk itu, pada gilirannya, dunia sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Kalimantan Timur tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Bugis atau Sulawesi Selatan secara umum.

Manusia Bugis di Kalimantan Timur tidaklah satu “jenis” saja. Pertama yang perlu diketahui, istilah “Bugis” sering diartikan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, meski orang itu beretnik Makassar, Mandar, Bajau dan Toraja. Kedua, ada orang Bugis yang memang melakukan migrasi (lahir di tanah Sulawesi untuk kemudian pindah) dan ada yang orang hanya Bugis biologis saja, yaitu kedua (atau satu) orangtuanya berasal dari Sulawesi tetapi dia lahir di Kalimantan Timur.

Buku setebal 500 halaman ini merupakan buku terbaik tentang kebudayaan Suku Bugis. Artinya, dia bisa menjadi rujukan untuk dua hal di atas: perbedaan dan kesamaan Bugis dengan suku lain dan acuan generasi Bugis yang lahir di luar tana Ugi, misalnya di Kalimantan Timur ini. Manusia Bugis dan budayanya amatlah penting diketahui dari sumber yang obyektif sebab seringkali ada yang belum kita pahami hingga menimbulkan persepsi yang salah atau berlebihan terhadap Bugis dan manusianya.

Kalimat kunci yang menjadi benang merah antara: Pulau Sulawesi–manusia Bugis–migrasi–tujuan migrasi adalah alasan untuk melakukan perpindahan dari tanah kelahirannya ke daerah lain, baik di pulau yang sama (Sulawesi) maupun di seberang lautan: “…berhubungan dengan upaya mencari pemecahan konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi yang tidak aman, atau keinginan untuk melepaskan diri baik dari kondisi sosial yang tidak memuaskan, maupun hal-hal yang tidak diinginkan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan ditempat asal.” (hal. 370).

Dari alasan-alasan di atas, Pelras mengambil kasus orang Bugis di Kalimantan Timur sebagai salah satu contoh, yaitu perpindahan seorang bangsawan Wajo’ bernama La Ma’dukelleng bersama 3.000 pengikutnya ke Pasir. Dan oleh Sultan Pasir, perantau tersebut diberi tanah yang sekarang ini dikenal dengan nama Samarinda, kawasan yang dibesarkan oleh orang Bugis.

Alasan di atas berlanjut: “Hanya saja, alasan seperti itu saja tampaknya tidak akan cukup memadai untuk dijadikan landasan untuk memahami mengapa begitu banyak tersebar pemukiman orang Bugis di seluruh Nusantara sejak akhir abad ke-17. Juga tidak dapat menjelaskan kenyataan bahwa—terlepas dari keadaan yang terus berubah—aktivitas perantauan justru merupakan ciri khas “permanen” orang Bugis hingga kini”.

Lalu, sebenarnya budaya apa sih yang identik dengan manusia Bugis? Pertanyaan ini mudah dijawab untuk orang Bugis yang memang lahir dan besar di Sulawesi Selatan. Lalu bagaimana yang mengklaim dirinya sebagai to Bugis tetapi dia lahir di daerah lain, katakanlah Kalimantan Timur? Ya, dia berhak bersikap demikian jika kedua orangtuanya Bugis totok, hitung-hitung dia bisa berbahasa Bugis. Tapi ini kan hanya salah satu unsur budaya Bugis. Bagaimana dengan unsur-unsur budaya yang lain? Apakah dia juga memiliki sikap siriq dan pesseq? Apakah ketika dia lahir dan menikah oleh orangtuanya menggunakan budaya-budaya Bugis? Rumahnya berarsitektur rumah Bugis? Apakah dia menjadi bagian dari pranata sosial yang berkembang di tanah Bugis?

Inilah yang perlu dijawab dan dipahami generasi Bugis yang lahir di perantauan. Manusia Bugis dapat dijadikan sebagai bahan perenungan untuk dapat memposisikan diri sebagai generasi yang tidak kehilangan akar budaya meski dia lahir di luar tanah-budaya moyangnya; meski ciri Bugis hanya karena dia keturunan sepasan laki-laki dan perempuan yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Bukan itu saja, orang lain yang mempunyai latar belakang suku yang berbeda tetapi bergaul dengan manusia Bugis di kesehariannya, misalnya sebagai isteri/suami, teman sekantor, rekan bisnis, dan sahabat juga penting untuk memahami budaya-budaya Bugis. Bagaimanapun, Banjar, Dayak, Jawa, dan suku lain di Kalimantan Timur mempunyai banyak perbedaan dengan budaya Bugis yang sedikit-banyak seringkali menimbulkan pergesakan yang berujung pada konflik. Pemahaman atas budaya Bugis dan sebaliknya (orang Bugis juga harus memahami budaya pihak lain) adalah salah satu cara untuk menjalin hubungan yang harmonis.

Di mata orang luar, orang Bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan (siriq), mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi kesetiakawanannya. Orang Bugis memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Orang Bugis juga memiliki kesusastraan, baik lisan maupun tulisan yang cukup dikagumi. Dan setelah menganut Islam, bersama Aceh, Minangkabau, Melayu, Sunda, Madura, Moro, Banjar, Makassar, dan Mandar, orang Bugis identik sebagai orang di Nusantara yang kuat identitas keislamannya.


Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 9:19 AM | 2 tanggapan
Tuesday, April 10, 2007
oleh : Suparman W.

SEMULA, mungkin tidak percaya jika sebuah perahu kayu sederhana, mampu mengarungi lautan Samudra Hindia yang dikenal memiliki ombak besar. Adalah nelayan suku Bugis Makassar, yang dikenal sejak puluhan tahun silam sebagai pelaut ulung, mengarungi lautan luas Samudra Hindia menggunakan perahu kayu (perahu layar).

Suku asal Sulawesi Selatan ini memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari, saat mengarungi ribuan kilometer lautan luas dari Indonesia hingga Madagaskar di Afrika Selatan, abad silam. Mereka memiliki keberanian dan kemampuan mengarungi lautan dengan perahu layar, antar pulau di Indonesia maupun samudra yang memiliki entakan ombak besar untuk menjaring ikan maupun berdagang hasil bumi.

Pelayarannya dari Indonesia ke Madagaskar menggunakan perahu layar yang sejauh ini tetap populer, yakni perahu kayu jenis pinisi. Perahu ini mencatatkan ketangguhannya dalam menembus dan mengarungi gelombang besar lautan Samudra Hindia yang jaraknya ribuan kilometer.

Suku Bugis Makassar yang merantau ke sana dengan menggunakan perahu jenis pinisi saat itu, kini keturunannya telah menjadi “mukimin” dan menjadi bagian komunitas warga Madagaskar.

Diperoleh catatan, selain perahu jenis pinisi yang dikenal tangguh, terdapat jenis perahu lain yang biasa dipergunakan nelayan Bugis. Perahu Pinisi sendiri, merupakan jenis perahu dagang yang memiliki ukuran paling besar (20 sampai 100 ton), dibanding jenis-jenis perahu lainnya.

Jenis perahu ini mampu mengarungi dan menjelajah lautan besar. Memiliki dua tiang agung (sokoguru-red) dilengkapi masing-masing layar besar yang menjadi layar utama, ditambah layar kecil pada masing-masing puncak tiang agung. Sementara kemudinya, terpasang pada bagian belakang.

Pada abad silam, perahu jenis pinisi juga dipergunakan untuk mengangkut bala tentara. Namun tidak dipergunakan untuk perang laut. Pinisi sebagai perahu niaga, dipimpin oleh seorang ana’koda (nakhoda). Kemudian juru mudi, juru batu serta awak perahu yang disebut sawi.

Jenis perahu lainnya, adalah jenis Lambo Palari. Jenis ini lebih kecil dari pinisi, bobotnya (10 - 50 ton). Perbedaan lain dengan pinisi, Lambo hanya memiliki satu tiang agung dan layar utama, ditambah layar berlapis-lapis di bagian depan dan di puncak tiang agung. Jenis serupa Lambo Palari adalah Lambo Calabai.

Kemudian jenis perahu lainnya, yang ukurannya lebih kecil adalah jenis Jarangka, Soppe dan Pajala. Jenis-jenis perahu yang lebih kecil ini mempergunakan layar segi empat yang mampu bergerak lincah mengarungi lautan. Dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan antar pulau sekitar Sulawesi Selatan, selain dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan jauh ke tengah lautan. Awak perahu Pajala berbeda dengan perahu dagang. Perahu nelayan ini, dipimpin seorang punjala (pemimpin dan pengemudi perahu -red).

Perajin Tana Beru

Dari berbagai sumber catatan yang diperoleh “PR” mengenai pembuatan perahu pinisi menyebutkan, dewasa ini walau para pembuat kapal kayu motor sudah tersebar di pelosok nusantara, adalah perajin perahu di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan pinisi. Disinilah salah satu lokasi kemegahan pinisi dilahirkan.

Tana Beru banyak memproduksi kapal pinisi. Kapal yang sampai sekarang masih banyak dipakai untuk melayari laut nusantara. Para pembuat perahu tradisional disini, secara turun-temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya.

Sebuah upacara ritual biasa dilakukan untuk memulai sebuah proses pembuatan perahu.

Para perajin, sebelum memulai pekerjaannya, terlebih dahulu harus mencari hari atau waktu terbaik pencarian kayu sebagai bahan baku. Hari baik untuk mencari bahan baku, adalah pada hari kelima dan ketujuh pada bulan berjalan. Angka lima, diartikan rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka tujuh berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, kepala tukang, baru kemudian memimpin pencarian bahan baku (kayu).

Pohon yang akan ditebang juga tak boleh sembarangan. Sebelumnya harus digelar upacara khusus, bertujuan untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Untuk kebutuhan mengusir roh, seekor ayam dijadikan korban untuk dipersembahkan kepada roh. Pemotongan yang dikerjakan menggunakan gergaji, harus dilakukan sekaligus tanpa berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat.

Bila balok bagian depan (yang tidak dipergunakan) sudah putus, potongan itu harus dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala yang melambangkan suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedang potongan balok bagian belakang disimpan di rumah, sebagai lambang istri pelaut yang setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.

Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.

Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan memasukkan majun pada sela papan. Agar sambungan antarpapan merekat kuat, dipakai bahan perekat dari sejenis kulit pohon barruk. Kemudian dilakukan pendempulan. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran ini diaduk dan dibiarkan selama 12 jam. Untuk kapal berbobot 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Setelah seluruh proses pembuatan selesai, proses terakhir kelahiran pinisi adalah peluncurannya. Saat peluncuran ini, digelar prosesi khusus. Misalnya, untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, prosesi khusus ditandai dengan memotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton ke atas, seekor sapi.

Pemasangan tiang dan layar, baru dilakukan setelah pinisi sudah mengapung di laut. Dan kapal yang diluncurkan ini sudah siap dengan awaknya.

Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang saat matahari sedang naik. Selain beberapa jenis perahu, juga terdapat alat (jaring) penangkap ikan yang sampai sekarang masih tetap dipergunakan nelayan Bugis. Perahu jenis pinisi, menjadi lambang keberanian anak bangsa dalam mengarungi lautan. Dalam abad 20 ini, pinisi kembali membuktikan ketangguhan melayari samudra, di antaranya mengikuti expo Vancouver di Kanada. Selain ekspedisi Amana Gappa, mengarungi Samudra Hindia menuju Madagaskar.

Sumber : Pikiran Rakyat

Baca Artikel Selengkapnya..!
 
Oleh Lana pada pukul 9:58 AM | 0 tanggapan